TikTok telah menjadi fenomena global yang sulit diabaikan, termasuk di Indonesia. Dengan lebih dari 100 juta pengguna aktif di Tanah Air, platform ini telah mengubah cara Generasi Z berinteraksi, berkreasi, dan mengonsumsi informasi. Bagi generasi yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan, melainkan ruang ekspresi, pembelajaran, dan bahkan peluang ekonomi.
Namun, di balik pesonanya, TikTok juga membawa sejumlah tantangan yang perlu dicermati, mulai dari pengaruhnya terhadap kesehatan mental hingga risiko penyebaran informasi yang keliru.
Salah satu dampak positif TikTok adalah memicu gelombang kreativitas di kalangan Generasi Z. Melalui video pendek berdurasi 15 detik hingga tiga menit, pengguna didorong untuk mengeksplorasi bakat mereka dalam berbagai bidang, seperti tari, musik, komedi, hingga edukasi.
Banyak anak muda Indonesia memanfaatkan TikTok untuk memamerkan karya seni, berbagi cerita budaya lokal, atau bahkan mempromosikan usaha kecil. Misalnya, tren seperti “Joget Nusantara” atau konten edukasi tentang sejarah lokal telah memperkaya wawasan pengguna sambil mempromosikan keberagaman budaya Indonesia.
Platform ini juga membuka peluang ekonomi, dengan banyak kreator muda yang berhasil menjadikan TikTok sebagai sumber penghasilan melalui endorse atau program monetisasi.
Namun, popularitas TikTok tidak lepas dari sisi gelapnya. Salah satu kekhawatiran utama adalah dampaknya terhadap kesehatan mental Generasi Z. Algoritma TikTok yang dirancang untuk membuat pengguna terus menonton dapat memicu kecanduan. Banyak remaja menghabiskan waktu berjam-jam di aplikasi ini, yang pada akhirnya dapat mengganggu produktivitas, pola tidur, dan keseimbangan emosional.
Selain itu, tren seperti standar kecantikan yang tidak realistis atau tekanan untuk “viral” sering kali memicu rasa insecure di kalangan pengguna muda. Studi dari berbagai negara menunjukkan bahwa paparan konten media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan risiko kecemasan dan rendahnya harga diri, dan Indonesia tidak terkecuali.
Selain isu kesehatan mental, TikTok juga menjadi ladang subur bagi penyebaran informasi yang tidak selalu akurat. Konten yang dibuat dengan cepat dan minim verifikasi sering kali menyebarkan narasi yang menyesatkan, mulai dari hoaks kesehatan hingga teori konspirasi. Generasi Z, yang cenderung mengandalkan media sosial sebagai sumber informasi utama, rentan terpapar konten semacam ini.
Meskipun TikTok telah berupaya memperketat moderasi konten, tantangan untuk menyaring informasi yang salah tetap besar, terutama di tengah budaya konsumsi cepat yang diusung platform ini.
Di sisi lain, TikTok juga telah menjadi katalis perubahan sosial. Banyak anak muda menggunakan platform ini untuk menyuarakan isu-isu penting, seperti kesetaraan gender, lingkungan, atau kritik terhadap kebijakan publik. Gerakan seperti #SaveLautIndonesia atau kampanye anti-bullying menunjukkan bagaimana TikTok dapat menjadi alat untuk memperjuangkan perubahan positif.
Namun, agar potensi ini maksimal, Generasi Z perlu didorong untuk mengembangkan literasi digital yang lebih baik, sehingga mereka mampu memilah informasi dan menggunakan platform ini secara bertanggung jawab.
Ke depan, peran orang tua, pendidik, dan pemerintah sangat penting dalam mengarahkan dampak TikTok agar lebih positif. Pendidikan literasi digital harus diperkuat di sekolah untuk membantu anak muda memahami cara kerja algoritma, mengenali hoaks, dan mengelola waktu mereka di media sosial. Pemerintah juga perlu bekerja sama dengan platform seperti TikTok untuk memastikan konten yang aman dan mendidik lebih mudah diakses.
Sementara itu, Generasi Z sendiri harus terus didorong untuk memanfaatkan TikTok sebagai wadah kreativitas dan pembelajaran, bukan sekadar pelarian dari realitas.
TikTok adalah cerminan zaman yang terus berubah. Ia menawarkan peluang sekaligus tantangan bagi Generasi Z Indonesia. Dengan pendekatan yang bijak, platform ini dapat menjadi alat untuk memberdayakan generasi muda, bukan justru menjebak mereka dalam lingkaran konsumsi yang tidak sehat. Yang terpenting, kesadaran kolektif dari semua pihak—pengguna, keluarga, hingga pembuat kebijakan—akan menentukan apakah TikTok akan menjadi kekuatan positif atau justru sumber masalah baru.
Penulis Opini:
Rina Kartika, jurnalis dan pengamat media sosial. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan redaksi.