Perkembangan e-commerce di Indonesia telah mencapai titik yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, dan pada 2025, sektor ini diproyeksikan terus melaju sebagai salah satu pendorong utama ekonomi digital. Dengan nilai transaksi yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 700 triliun pada tahun ini, menurut laporan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Indonesia kini menjadi salah satu pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara.
Namun, di balik pertumbuhan pesat ini, ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk memastikan keberlanjutan dan pemerataan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu pendorong utama perkembangan e-commerce adalah meningkatnya penetrasi internet dan adopsi teknologi digital di kalangan masyarakat. Pada 2025, lebih dari 75% penduduk Indonesia diperkirakan memiliki akses internet, didukung oleh perluasan infrastruktur telekomunikasi hingga ke daerah-daerah terpencil.
Hal ini membuka peluang besar bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk menjangkau pasar yang lebih luas melalui platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada.
“Digitalisasi telah menjadi jembatan bagi UMKM untuk bersaing di pasar global,” ujar Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam sebuah wawancara baru-baru ini. Banyak UMKM kini memanfaatkan fitur-fitur seperti iklan digital dan analitik data untuk meningkatkan daya saing mereka.
Namun, pertumbuhan ini tidak lepas dari tantangan. Salah satu isu utama adalah kesenjangan digital yang masih membayangi daerah rural. Meskipun akses internet terus meluas, kualitas koneksi di banyak wilayah luar Jawa masih belum memadai. Hal ini menghambat pelaku usaha lokal untuk memanfaatkan e-commerce secara maksimal.
Selain itu, literasi digital yang rendah di kalangan masyarakat tertentu juga menjadi hambatan. Banyak konsumen dan pelaku usaha kecil belum memahami cara menggunakan platform e-commerce secara efektif, mulai dari pengelolaan toko online hingga strategi pemasaran digital.
Persaingan ketat di antara platform e-commerce juga menimbulkan dampak ganda. Di satu sisi, persaingan ini mendorong inovasi, seperti pengembangan sistem pembayaran digital yang lebih aman atau layanan logistik yang lebih cepat.
Namun, di sisi lain, praktik predatory pricing dan diskon besar-besaran dapat merugikan pelaku usaha kecil yang kesulitan bersaing dengan pemain besar. “Kami melihat perlunya regulasi yang lebih tegas untuk menciptakan ekosistem e-commerce yang sehat,” kata ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, dalam sebuah diskusi panel tentang ekonomi digital. Tanpa intervensi yang tepat, dominasi beberapa platform besar berisiko menciptakan ketimpangan dalam ekosistem bisnis.
Isu keamanan data juga menjadi sorotan penting di tengah maraknya transaksi online. Pada 2025, serangan siber terhadap platform e-commerce dan pengguna individu diprediksi meningkat, seiring dengan semakin canggihnya teknologi yang digunakan pelaku kejahatan siber. Kasus kebocoran data pribadi yang terjadi pada beberapa platform besar di tahun-tahun sebelumnya menjadi pengingat akan pentingnya perlindungan data konsumen.
Pemerintah, melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai diterapkan secara penuh, perlu memastikan bahwa platform e-commerce mematuhi standar keamanan yang ketat.
Di sisi lain, perkembangan e-commerce juga membawa dampak sosial yang signifikan. Tren belanja online telah mengubah pola konsumsi masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Fitur seperti live shopping dan integrasi media sosial telah membuat pengalaman berbelanja menjadi lebih interaktif dan menarik.
Namun, hal ini juga memicu kekhawatiran tentang konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan dari meningkatnya pengemasan dan pengiriman barang. Untuk mengatasi ini, beberapa platform mulai mengadopsi praktik ramah lingkungan, seperti penggunaan kemasan daur ulang dan optimalisasi rute logistik untuk mengurangi emisi karbon.
Ke depan, agar e-commerce dapat terus berkembang secara berkelanjutan, kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat menjadi kunci. Pemerintah perlu terus mendorong investasi di infrastruktur digital dan program pelatihan literasi digital, terutama di daerah tertinggal.
Pelaku industri, di sisi lain, harus berinovasi secara bertanggung jawab, dengan memprioritaskan keamanan data dan keadilan dalam persaingan. Sementara itu, konsumen juga perlu lebih bijak dalam memanfaatkan e-commerce, baik sebagai pembeli maupun penjual.
E-commerce di Indonesia pada 2025 adalah cerminan dari kemajuan teknologi dan dinamika sosial yang terus berubah. Dengan pendekatan yang seimbang, sektor ini tidak hanya dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, tetapi juga alat untuk memperkuat inklusi dan keberlanjutan. Tantangan yang ada bukanlah hambatan yang tak teratasi, melainkan peluang untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih adil dan berdaya saing.
Penulis Opini:
Ahmad Rizky, pengamat ekonomi digital. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan redaksi.