Suararakyatnusantara.com, Makassar – Sebuah tantangan berani mencuri perhatian publik di media sosial. Andi Jamal Kamaruddin Daeng Masiga, yang akrab disapa ‘Bethel,’ seorang mantan aktivis mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar angkatan 1985, secara terbuka menantang Ketua Umum Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB), Rosario de Marshall alias Hercules, untuk bertarung dalam tradisi duel sarung khas Bugis-Makassar. Tantangan ini dipicu oleh sindiran Hercules terhadap para mantan jenderal TNI, yang memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Apa sebenarnya yang terjadi di balik konflik ini?
Tantangan Bethel terhadap Hercules pertama kali viral melalui unggahan di media sosial, sebagaimana dikutip dari Tribun Timur pada Senin, 5 Mei 2025. Konflik ini tidak hanya menarik perhatian warganet, tetapi juga memunculkan respons dari berbagai tokoh, termasuk mantan Panglima TNI dan anggota GRIB Sulawesi Selatan. Artikel ini akan mengulas secara mendalam kronologi kejadian, konteks budaya duel sarung, serta respons dari berbagai pihak terkait isu ini.
Kronologi Tantangan Bethel kepada Hercules
Konflik bermula ketika Hercules, dalam pernyataannya, mengkritik para purnawirawan TNI, termasuk eks Gubernur Jakarta Sutiyoso. Hercules menyebut Sutiyoso dengan kalimat kontroversial, “Mulutnya sudah bau tanah,” merespons pernyataan Sutiyoso yang mendukung revisi UU Ormas dan mengkritik ormas yang menggunakan seragam mirip TNI. Ucapan ini memicu amarah berbagai pihak, termasuk mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan Bethel.
Bethel, yang dikenal sebagai tokoh berpengaruh di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, menanggapi sindiran Hercules dengan tantangan terbuka. “Hercules, apa yang telah Anda sumbangkan untuk bangsa ini? Saya akan cari Anda,” ujar Bethel dalam pernyataan yang viral di media sosial. Ia bahkan menantang Hercules untuk bertarung dalam tradisi Sigajang Laleng Lipa atau Sitobo Lalang Lipa, sebuah duel di dalam sarung yang merupakan tradisi penyelesaian konflik masyarakat Bugis-Makassar.
“Saya menantang Anda di dalam sarung, kita akan buktikan siapa yang kebal,” tegas Bethel. “Saya tidak mengancam, tapi saya akan buktikan di mana pun Anda berada.”
Apa Itu Tradisi Duel Sarung?
Tradisi Sigajang Laleng Lipa adalah praktik budaya yang telah lama ada di masyarakat Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan. Tradisi ini biasanya menjadi jalan terakhir untuk menyelesaikan konflik ketika semua upaya damai gagal. Dalam duel ini, dua pria yang berseteru masuk ke dalam sebuah sarung besar dan bertarung menggunakan badik, senjata tradisional khas Bugis. Pertarungan ini bersifat sangat serius, sering kali berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak.
Menurut Dr. Andi Faisal Bakti, pakar budaya Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin, tradisi ini mencerminkan nilai kehormatan dan harga diri. “Duel sarung bukan sekadar pertarungan fisik, tetapi simbol penyelesaian konflik demi menjaga martabat. Namun, tradisi ini kini jarang dilakukan karena dianggap bertentangan dengan hukum modern,” jelasnya dalam wawancara dengan Kompas pada 2024.
Meski begitu, tantangan Bethel ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya tersebut masih hidup di kalangan tertentu, terutama ketika harga diri dirasa diinjak.
Respons GRIB Sulsel dan Hercules
Tantangan Bethel tidak dibiarkan begitu saja oleh GRIB Jaya Sulawesi Selatan. Wakil Ketua GRIB Sulsel bersama anggota ormas ini merasa tersinggung dengan tantangan tersebut. Mereka bahkan membalas dengan menantang Bethel untuk duel, baik di dalam maupun di luar sarung. “Kami akan menantang di dalam atau di luar sarung,” ujar salah satu perwakilan GRIB Sulsel.
Selain itu, GRIB Sulsel berencana mengantar Bethel untuk bertemu langsung dengan Hercules. Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada kabar lebih lanjut mengenai apakah pertemuan atau duel tersebut akan benar-benar terjadi.
Sementara itu, Hercules sendiri sebelumnya telah terlibat dalam kontroversi lain. Ia sempat meminta maaf kepada Sutiyoso atas ucapannya yang menyebut “bau tanah.” “Saya minta maaf kepada Pak Sutiyoso, minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Pak Sutiyoso, kepada anak cucu dan keluarganya semua,” kata Hercules dalam wawancara dengan kanal YouTube Seleb On Cam pada 2 Mei 2025. Namun, ia juga menyatakan ketidak hormatannya kepada Gatot Nurmantyo, yang menyebutnya preman. “Saya tidak takut sama Anda. Saya tidak menghargai Anda,” ujar Hercules.
Reaksi Purnawirawan TNI
Ucapan Hercules terhadap Sutiyoso juga memicu kemarahan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Dalam sebuah video yang diunggah di akun X @msaid_didu pada 30 April 2025, Gatot menyebut Hercules tidak sopan karena menghina Sutiyoso, yang juga mantan Wadanjen Kopassus. “Kau menghina pensiunan Kopassus. Maka kau juga menghina Presiden saya, Jenderal Prabowo,” tegas Gatot.
Gatot juga mempertanyakan kontribusi Hercules bagi negara. “Kau apa jasamu terhadap negara? Hidup di negara ini yang sopan santun,” ujarnya.
Di sisi lain, Jenderal (Purn) Hendropriyono memberikan pandangan yang lebih moderat. Ia menilai Hercules sebagai korban dari konspirasi global dan kondisi ekonomi. “Setelah dia ada di Indonesia menjadi bangsa Indonesia, tidak kebagian kue atau apa. Dia kan buntung, kaki buntung, tangan buntung, mata sebelah. Ini karena membela RI,” kata Hendropriyono. Ia menegaskan bahwa ia tetap menentang premanisme, namun mengajak masyarakat untuk melihat sisi kemanusiaan Hercules.
Konteks Lebih Luas: Isu Ormas dan Premanisme
Konflik ini juga mencerminkan ketegangan yang lebih luas terkait peran ormas di Indonesia. Pada 27 April 2025, Sutiyoso dalam sebuah acara televisi menyatakan dukungannya terhadap revisi UU Ormas, dengan alasan banyak ormas menggunakan seragam yang menyerupai TNI. Pernyataan ini mendapat respons keras dari GRIB, yang merasa tersinggung.
Menurut laporan Tempo (2024), isu premanisme dan aktivitas ormas sering menjadi sorotan karena dianggap mengganggu ketertiban sosial. Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, sedang mempertimbangkan penguatan regulasi untuk mengawasi ormas agar tidak menimbulkan konflik di masyarakat.
Tantangan duel sarung antara Bethel dan Hercules menjadi sorotan karena mencerminkan perpaduan antara nilai budaya tradisional dan konflik modern di tengah masyarakat. Meski tradisi ini kini jarang dipraktikkan, tantangan tersebut menunjukkan betapa sensitifnya isu harga diri dan kehormatan di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Di sisi lain, konflik ini juga menggarisbawahi perlunya dialog dan penyelesaian damai untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
Hingga kini, belum ada kepastian apakah tantangan ini akan berujung pada pertemuan fisik atau hanya sebatas perang pernyataan di media sosial. Publik pun menanti langkah selanjutnya dari kedua belah pihak, sambil berharap situasi dapat diselesaikan secara bijak.(*)